Friday, November 27, 2009

Sebuah Cerita dari Balik Kamar Kosku

Aku memandangi langit-langit kamar kosku,berharap tertulis sesuatu di sana.
Namun yang kulihat hanya langit-langit yang sama seperti 3 tahun lalu.

Aku memandang keluar,tak sadar menatap kelabunya langit.Beberapa jam lalu hujan baru saja turun.
Aku memandangi burung-burung yang terbang,sedikit berkhayal bahwa aku bisa berpikir sebebas mereka.

Aku menatap pintu kamarku.Satu-satunya jalan bagiku untuk pergi ke dunia luar.

Dunia yang kadang tak bersahabat denganku.Dunia yang kadang mengecewakanku.Dunia yang kadang harus membuatku berlutut,menangis.

Aku berjalan melalui deretan kamar-kamar.Kamar itu ditinggali oleh saudari-saudariku.Terdengar suara gemerisik kertas.Mereka sedang belajar.

Melihat mereka,terkadang membuatku malu.Apa yang sudah kulakukan saat ini?Perjuanganku tidak sekeras mereka.Pantaskah aku berharap mendapatkan hasil yg memuaskan?Pantaskah aku berharap lebih?
Seharusnya aku tidak boleh kecewa saat harus menemui kegagalan.Aku tidak mau berusaha.Kesuksesan itu pun enggan menghampiriku.

Aku menoleh ke pintu kamar mandi yg tertutup.Seorang saudariku pasti sedang menggunakannya.Kutahan niatku untuk mandi.Aku harus bersabar.
Mengantri untuk mandi selama 2 tahun terakhir ini membuatku belajar banyak hal.Mengantri membuatku menjadi orang yang sabar.Sedikit menurunkan egoku.

Kulihat rendaman cucianku di dalam ember.Tadi pagi aku merendamnya di situ,berniat bahwa sore ini aku akan mencucinya.Teringat niatku itu aku mencucinya.Mencuci bajuku sendiri selama hampir 2 tahun membuatku belajar.Setiap usaha adalah sebuah proses.Sebuah proses adalah jalan untuk sebuah hal hebat.Dengan kata lain,tidak ada hal hebat yang tidak dilalui dengan sebuah proses.

Aku berbalik dan kuketuk kamar seorang saudariku.Masuk,kulihat dua orang gadis di dalamnya.Mereka bagaikan dua orang saudariku.Saat aku jatuh,mereka mengulurkan tangan,membantuku berdiri.Saat aku menangis,mereka memberiku sekotak tisu.Sebuah hal sederhana.Namun aku tahu ada hal yg sungguh luar biasa.
Aku memandang mereka.Teringat suka duka yang telah kulalui bersama mereka.Kami belajar bersama,kami tertawa bersama.Kami menonton film bersama.Seluruh momen dan kenangan itu tak akan pernah tergantikan oleh apa pun.

Aku turun ke bawah,mencari sandalku yang entah berada di mana.Akhirnya aku memakai saja sandal yang ada.Toh hidup harus apa adanya.Tidak harus mencari apa yang tidak ada.Intinya,hidup adalah bersyukur atas apa yang ada.

Kubuka pintu dan aku keluar.Di sinilah aku sekarang.Berada di sebuah jalan.Aku tak tahu harus ke mana.Merapatkan jaketku,aku berjalan pelan.Berharap jalan itu akan mengantarku pada tujuanku.


Surakarta, 22 oktober 2009
Fandita Tonyka M

Titik Koma di Benak Tita

Hening.
Kemudian terdengar suara itu. Ketukan monoton berkepanjangan yang membuat kepalaku pusing. Aku diam, berusaha mendengarkan termasuk jenis apakah suara menjengkelkan yang berdengung keras di telingaku.
Kupijat keningku, berusaha mengenyahkan gambaran-gambaran menakutkan yang beberapa hari ini tak henti-hentinya menyiksaku.
Sakit.
Tok,tok,tok.
Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Seingatku, suara itu hanya ditimbulkan oleh suatu benda yang diketukkan ke benda lain. IQ 125-ku langsung mengirimkan gambaran seseorang yang duduk di kursi pesakitan dengan beberapa orang di hadapannya. Agaknya itu suara palu.
Aku pusing.
Suara-suara itu semakin ramai, ditingkahi dengan teriakan-teriakan marah.
Aku berusaha mengacuhkan suara-suara itu. Semakin aku berusaha, tampaknya keinginan sang suara untuk memenuhi telingaku dengan dengungan menjengkelkan semakin kuat. Urung, aku sedikit mendengar potongan-potongan percakapan yang bagiku terasa sedikit janggal.
“ Baiklah, baiklah, mari kita dengarkan pembelaan Saudara Akal. “ suara bernada bosan mengusik telingaku.
“ Saudara-saudara, “ nada angkuh yang jelas tak dapat dipungkiri membanjiri telingaku. “ jelas dalam kasus ini, Saudara Perasaan-lah yang bersalah. Kalian tak bisa begitu saja… “
Aku menutup kedua telingaku. Aku ingin menjerit. Frustasi.
Benda kuning di atas kepalaku berputar-putar. Tak terasa, sesuatu meleleh di pipiku. Huh, aku menangis. Lagi. Sudah berapa kali aku kalah dengan pertarungan dengan diri sendiri ?
Aku tertawa. Frustasi. Lebih mirip bila dikatakan tawa gila. Tawa gila itu memenuhi telingaku, membuat suara-suara di dalam kepalaku berhenti sejenak. Aku senang mereka berhenti. Aku semakin keras tertawa. Suara-suara itu semakin terdiam. Aku senang.
Kesenangan itu digantikan dengan perasaan marah luar biasa ketika kudengar suara halus berbicara. Isak tangis mewarnai nada bicaranya.
“ Maafkan saya, Saudara Akal, “terdengar sedotan menjijikkan seperti suara cabutan sumbat bak cuci piring. “ memang saya lah yang bersalah. Saya membuat Tita menjadi seperti ini. Tita anak yang…”
Hah!! Siapa mereka ? Berani-beraninya mereka menyebut namaku !!!!
Kujambak rambutku. Sakit.
“ Tentu saja sakit, bodoh !!! “ suara angkuh itu kembali memenuhi ruang-ruang terkecil di otakku.
Aku melotot. Kuedarkan pandang ke sekitarku. Ada sebuah foto retak tergantung di tembok. Tunggu, ada sesuatu di foto itu. Ada sesuatu yang menarik dari gambar biasa dua orang gadis yang sedang tertawa itu.
Ada sesuatu dari tawa gadis berlesung pipit itu yang membuatku muak. Tunggu, aku muak dengan gadis itu. Aku MUAK!!!!
Brakkk!!!
Sesuatu berwarna kemerahan mengalir dari kedua tanganku. Aku menatapnya nanar. Aku bingung.
“ Saudara Akal, saya rasa saya mengetahui bagaimana cara mengembalikan Tita…” dengusan keras terdengar dari berbagai penjuru.
“ Jangan asal bicara, nona. Kau sudah membuat Tita kehilanganku!! Lihat apa yang terjadi padanya sekarang!! Dia bahkan hanya menatap kosong darah di tangannya. Dia tak ubahnya seperti orang idiot yang tak tahu apa arti sakit. Semua itu gara-gara kau!!! “ raung suara angkuh itu di kepalaku.
Apa yang mereka bicarakan ?
“ Tita telah dikuasai oleh dirimu!! Dia bahkan tidak mempertimbangkan saran-saranku!!! Sakit di hatinya telah membuatnya kehilanganku!!! “
Suara lembut itu menangis semakin keras.
Aku diam. Lama. Entah berapa lama. Aku tidak tahu. Aku tidak peduli.
Aku hanya peduli dengan rasa sakit ini. Rasa sakit yang tak ada hubungannya dengan genangan merah di tanganku. Rasa sakit yang sudah beberapa hari ini begitu familiar denganku.
Hmm…aku mencoba berteman dengannya. Rasa sakit itu.
“ Kita harus memaksanya mengingat sebab rasa sakitnya, “ suara lembut angkat bicara. “ Saat itulah Saudara Akal harus menerobos masuk, bagaimanapun Tita membentengi dan menjagaku. Saat itulah kau harus mengalahkanku dan memaksa Tita menggunakanmu, menggunakan akal sehatnya. Hanya itu caranya.“
Kekosongan menyakitkan menyerangku. Aku kini diam, menyimak apa yang mereka bicarakan.
“ Bagaimana caranya ? Dia menolakku!! Bahkan sentuhan lembut logika-ku membuatnya kehilangan kendali. Dia bahkan sekarang mencoba berteman dengan sakit hatinya!!!”
“ Aku tahu. Maafkan aku. Aku yang membiarkan Tita mencintainya. Kita harus memaksanya mengingat detail memorinya. “
“ Kapan ? “
“ Sekarang, atau sebentar lagi dia jadi gila. “

00o00
Aku menatapnya, tersenyum. Lambaian tanganku seakan mewakili seluruh kata-kata yang ingim kuucapakan. Betapa aku menyayanginya dan menginginkan yang terbaik baginya.
Kuharap lambaikan tanganku dapat membuatnya mencetak 1 angka lagi. Angka yang memastikan kami membawa pulang piala bergilir walikota. Lagi. Dan untuk seterusnya.
Sentuhan hangat di lenganku membuatku berbalik. Gerak-gerik Amel, sahabat berlesung pipit-ku, membuatku tertawa. Dia menunjuk-nunjuk pangeranku, berusaha mengatakan bahwa kali ini, sekali lagi, kami membawa kebanggaan bagi sekolah kami.
00o00

Ok!! Stop!!! Berhenti !!! Aku tidak ingin mengalaminya lagi. Aku lelah. Aku cuma ingin tidur. Aku capek dengan semua ini.
“ Teruslah berusaha…” bisikan halus itu terdengar di kepalaku.
Tidak!!! Cukup !!! Sudah !!!
Kurasakan sulur-sulur pikiran merambat masuk memasuki wilayah yang kujaga dengan ketat. Dia mendobrak masuk, memasuki kamar kenangan keduaku.

00o00
Melihat mereka tertawa bahagia membuatku merasa begitu lengkap. Aku bersyukur. Aku tidak mengingnkan apa-apa lagi. Aku sudah memiliki semuanya. Sahabat dan orang yang kucintai yang begitu mencintaiku. Melihat mereka bercengkrama dan tertawa bahagia, sudah cukup membuat hatiku dipenuhi kegembiraan yang luar biasa.
00o00
Aku menangis.
Aku menggigil hebat. Rasanya seolah setiap energiku sudah habis terkuras. Di dalam kepalaku, aku merasakan sulur-sulur itu memeriksa bagian kamar kenanganku selanjutnya.
00o00
Aku tidak pernah memperhatikan kasak-kusuk di belakangku. Teman-temanku banyak berbincang-bincang tentangku, Amel, dan pangeranku. Spekulasi mereka membuatku ingin tertawa keras-keras. Bagaimana mungkin mereka melihat Amel menangis di bahu pangeranku ? Akal sehatku mengatakan pangeranku berusaha membantu Amel, saudariku.
00o00
Lelehan air mataku semakin deras. Aku terduduk lunglai di pojok kamar, satu-satunya tempat di mana aku merasa aman. Aku bahkan merasa tidak aman di dalam kepala dan benakku sendiri.
Sulur-sulur itu masih terus memeriksa.
Aku begitu putus asa. Aku membiarkannya memeriksa kenangan-kenanganku. Toh, melawan tidak ada gunanya. Aku sudah tidak berguna.

00o00
Dengan gemetar aku terus menulis di buku harianku. Tulisan itu begitu nyata, begitu jelas, sejelas bagaimana rasa sakit yang kurasakan. Ya, saat itulah aku pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Rasa Sakit. Selanjutnya, diriku adalah tempat yang nyaman untuknya.
00o00
Aku berteriak. Aku menjerit. Sulur-sulur itu menekanku, berusaha membuka pintu yang terakhir. Kenanganku yang terakhir. Kenangan yang sudah kututup rapat-rapat, takkan kubiarkan terbuka lagi.
Aku bergelut melawan mereka. Sedetik. Dua detik. Aku tak peduli. Aku tidak ingin mereka menang. Mereka akan membuatku mengalaminya lagi. Pertempuran terakhir yang harus kumenangkan setelah semua kekalahan yang kudapatkan.
Aku lelah. Aku capek. Aku sedih. Aku gembira. Aku GILA!!!
00o00
Kupandang buku harianku. Di situ jelas tertulis rangkaian kalimat yang begitu membuatku tak bisa merasakan keberadaan logika. Jelas, aku sedih.
“ Saat kulihat reaksimu saat mendengar namanya, ketika itu pula aku sadar bahwa kau adalah miliknya. Milik sahabatku sendiri. “
00o00
“ Merasa frustasi dan sedih begitu manusiawi. Merasa kehilangan harapan dan keinginan merupakan hal yang dialami setiap orang. Mereka semua mengalaminya. Tapi ada satu yang tidak dialami setiap orang. Tidak semua dari mereka merasakan betapa kuatnya mereka setelah mereka bangkit dari keterpurukan. Mereka belajar. Mereka mendapatkan pelajaran berharga yang hanya dapat mereka peroleh dari pengalaman hidup. “ suara monoton itu berkata pelan, bijaksana.
Tangis keras Perasaan hanya terdengar samar. Suara angkuh Akal memenuhi kepalaku.
“ Jangan biarkan Perasaan menjajahmu. Gunakan kami, akalmu, dengan baik. “
Entah mengapa suara tangis Perasaan di sudut yang jauh di kepalaku membuatku iba. Tangisnya begitu pilu dan sedih.
Mendengar tangis Perasaan, Akal tampaknya berpikir hal yang sama denganku. Dia menoleh dan berbalik. Digandengnya akal dengan hangat. Genggaman hangat persahabatannya membuatku sadar bahwa cinta buta bukanlah segalanya dalam hidupku. Anehnya, aku merasa tenang ketika kupunguti pecahan-pecahan pigura foto di depanku.
Tok,tok,tok.
Terdengar ketukan itu lagi. Aku tersenyum, mengira mereka telah menyelesaikan masalahnya. Masalah mereka adalah aku.
Tepukan halus di lenganku membuatku menoleh. Wajahku datar tanpa ekspresi ketika gadis berlesung pipit itu memelukku dan berbisik, “ Maafkan aku, Tita…”

Solo, 1 September 2009.21.43
Fandita Tonyka Maharani
XII IA 4/15

Wednesday, November 25, 2009

Catatan 3:lagu favoritku di hari hujan :)

Malam ini bisa dibilang malam kerja kerasku,setelah sepanjang siang yg bisa dibilang santai.
Untuk menghormati jasa para pahlawan tanda jasaku,aku pergi ke sekolah sekitar pukul 9,merasa sedikit malas karena matahari pagi itu bersinar dengan sangat ganas,mengingat saat ini bulan November dan sebagainya.

Mendengar deru hujan yg semakin menggila,entah mengapa dorongan untuk menyusup di tempat tidurku yg pasti terasa sangat hangat,nyaris hilang sama sekali.

Buku2 yg bertebaran di depanku sejak kira2 pukul setengah tiga tadi tidak cukup untuk membuatku muak.Dengan heran kusadari bahwa ternyata aku cukup menikmatinya.Bercengkrama dengan arus,tegangan,suhu dan teman2nya itu maksudku.

Hujan semakin menggila dan aku terjebak di sini,bukan di dekat tempat tidurku yg hangat.

Hmm,sebenarnya saat ini aku sangat ingin mendengarkan sebuah lagu.Aku cukup menyukainya setelah tadi pagi mendengarnya secara tidak langsung.

Dan ternyata aku sangat menyukainya :)


Surakarta,25 November 2009

Tuesday, November 24, 2009

Catatan 2:senyum di pagi hari

Jam pesawat di depanku terus berdetak ribut.Jarum panjang dan pendeknya membentuk sudut cos 0,5.Sedikit berbentuk senyum.

Sebenarnya kalau dilihat-lihat lagi,jam itu membentuk sedikit senyum,sedih.

Seperti aku yg kalau dipikir-pikir seharusnya merasa sangat gembira hari ini,tapi yg kutahu sekarang adalah aku hanya ingin terus menyembunyikan kepalaku di bawah bantal,berharap supaya hari ini cepat berlalu.Hanya ditemani oleh detak keras jamku yg tidak selamanya membentuk senyum sedih seperti itu.Hal yg sangat kuragukan yg akan terjadi padaku hari ini.Saat jarum panjang menunjuk angka 2 dan jarum pendek menunjuk angka 10,senyum ceria terbentuk oleh sudut jamku.Namun yg kulakukan hanyalah menatapnya kosong,berusaha sekeras mungkin untuk tetap tersenyum,walaupun sedih.

Setiap orang tersenyum dengan cara yg berbeda.Kebanyakan orang tersenyum bahkan tertawa dengan cara yg membuatku semakin menyukai mereka.Namun saat ini aku ragu bahwa mereka akan menyukai senyum terpaksaku yg lebih mirip dikatakan sebagai seringai orang yg sedang sakit gigi.

Kembali kuarahkan perhatianku pada jamku yg semakin tersenyum lebar,berusaha mengajakku tersenyum bersamanya.Namun yg kulakukan adalah semakin menenggelamkan diriku ke dalam kasur dan menarik selimutku sampai menutupi kepalaku.Di dalamnya,aku tersenyum tenang.


Surakarta,25 November 2009

Labels:

Monday, November 23, 2009

Catatan 1:awal pembuka diamku

Hari ini adalah hari Sabtu di awal minggu keempat di bulan November.Saat ini,awan kelabu muram menggantung rendah di langit,seakan bersiap hendak memuntahkan guyuran hujannya beberapa menit lagi.

Oktober telah lewat.November datang dengan cepat,membawa lebih banyak uap air yg secara kontinyu membuat ruang kelasku menjadi semakin lembab dan berbau apak.

Sadar ataupun tak sadar,ingin ataupun tak ingin,menghitung waktu adalah rutinitas terbaru favoritku saat ini.Berusaha untuk tak percaya,namun tak urung juga kusadari bahwa apa yg telah dan sedang kulakukan,belum cukup untuk menuntaskan kuota targetku yg kebanyakan berhubungan dengan soal-soal.
Rasanya seperti membawa sekarung batu dan kau bahkan tidak tahu di mana harus melakukannya.Kau tahu kan sensasi belum-bisa-menjawab-soal yg saat ini tengah berada di depan hidungku.

Maret akan datang dengan cepat.Yang kutahu saat ini adalah aku belum bisa berjalan ke arahnya dengan sepenuhnya menopangkan semua bebanku ke kedua kakiku sendiri.

Sangat menyedihkan.

Aku-gadis-18 tahun-yg menyedihkan.

Menyesali waktu yg telah lampau bukanlah ide terbaik saat ini,meskipun sedikit rasa sesal itu membuatku selalu menoleh ke belakang dan berkata,"Mengapa aku melakukan hal itu?"

Selama kurang lebih sebulan berada dalam fase paling menjengkelkan yg pernah kualami,akhirnya aku sampai ke titik ini.Titik saat aku harus bisa menyemangati diriku sendiri.Kau tahu,tidak akan ada selalu orang yg akan menyemangatimu.Meskipun bukan itu yg kuharapkan akan terjadi padaku di masa depan.Namun mencoba realistis adalah pilihan terbaikku saat ini.Semua orang sedang berusaha,bergelut dengan semua angan dan mimpi mereka.

Lalu,apa yg kutunggu saat ini?
Anehnya, aku bahkan tidak tahu apa yg sedang kubicarakan saat ini.


Surakarta,23 November 2009

Labels:

Tuesday, September 22, 2009

Aku dan kebosanan yg menjemukan ini

Menghitung detik demi detik berlalu bukanlah hal yg sehat untuk dilakukan seorang gadis-remaja-nyaris-18 tahun. Sebenarnya hal yg tdk sehat dilakukan oleh semua org dari segala golongan. Hmmmh,tapi bukan masalah semua-golongan-umur itu yg ingin kutulis sekarang.

2 minggu nyaris berlalu sejak terakhir kali aku bertemu teman2ku. Mengingat mereka,2 sisi diriku saling bertentangan sekarang. Aku merindukan mereka,namun di sisi lain aku malu pada mereka.

Aku ingat,hal terakhir yg mereka ingat tentang aku adalah ketidakramahanku. Aku si gadis yg pemurung dan tidak ramah.

Itu terjadi 2 minggu lalu saat gunung emosi di dalam diriku nyaris meledak. Sesak rasanya.

Sebagai remaja,tentu saja hal itu merupakan hal lumrah. Tak usah dibesar2kan. Aku tahu itu. Tapi mengalaminya sendiri seakan membuat emosiku terkuras habis.

Terus terang,aku lelah. Lelah dgn diriku,lelah dgn emosiku,dan lelah dgn segala hal yg berhubungan dgn diriku sendiri.

Aku benci mengatakannya,tapi itu memang benar. Toleransiku untuk semua hal menjemukan ini nyaris mendekati nol. Suatu angka yg cukup mengkhawatirkan bukan? Hey,di mana keceriaan masa remaja itu?

Kurasa semua tekanan ini perlahan akan membuatku gila.

Labels: