Hening.
Kemudian terdengar suara itu. Ketukan monoton berkepanjangan yang membuat kepalaku pusing. Aku diam, berusaha mendengarkan termasuk jenis apakah suara menjengkelkan yang berdengung keras di telingaku.
Kupijat keningku, berusaha mengenyahkan gambaran-gambaran menakutkan yang beberapa hari ini tak henti-hentinya menyiksaku.
Sakit.
Tok,tok,tok.
Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Seingatku, suara itu hanya ditimbulkan oleh suatu benda yang diketukkan ke benda lain. IQ 125-ku langsung mengirimkan gambaran seseorang yang duduk di kursi pesakitan dengan beberapa orang di hadapannya. Agaknya itu suara palu.
Aku pusing.
Suara-suara itu semakin ramai, ditingkahi dengan teriakan-teriakan marah.
Aku berusaha mengacuhkan suara-suara itu. Semakin aku berusaha, tampaknya keinginan sang suara untuk memenuhi telingaku dengan dengungan menjengkelkan semakin kuat. Urung, aku sedikit mendengar potongan-potongan percakapan yang bagiku terasa sedikit janggal.
“ Baiklah, baiklah, mari kita dengarkan pembelaan Saudara Akal. “ suara bernada bosan mengusik telingaku.
“ Saudara-saudara, “ nada angkuh yang jelas tak dapat dipungkiri membanjiri telingaku. “ jelas dalam kasus ini, Saudara Perasaan-lah yang bersalah. Kalian tak bisa begitu saja… “
Aku menutup kedua telingaku. Aku ingin menjerit. Frustasi.
Benda kuning di atas kepalaku berputar-putar. Tak terasa, sesuatu meleleh di pipiku. Huh, aku menangis. Lagi. Sudah berapa kali aku kalah dengan pertarungan dengan diri sendiri ?
Aku tertawa. Frustasi. Lebih mirip bila dikatakan tawa gila. Tawa gila itu memenuhi telingaku, membuat suara-suara di dalam kepalaku berhenti sejenak. Aku senang mereka berhenti. Aku semakin keras tertawa. Suara-suara itu semakin terdiam. Aku senang.
Kesenangan itu digantikan dengan perasaan marah luar biasa ketika kudengar suara halus berbicara. Isak tangis mewarnai nada bicaranya.
“ Maafkan saya, Saudara Akal, “terdengar sedotan menjijikkan seperti suara cabutan sumbat bak cuci piring. “ memang saya lah yang bersalah. Saya membuat Tita menjadi seperti ini. Tita anak yang…”
Hah!! Siapa mereka ? Berani-beraninya mereka menyebut namaku !!!!
Kujambak rambutku. Sakit.
“ Tentu saja sakit, bodoh !!! “ suara angkuh itu kembali memenuhi ruang-ruang terkecil di otakku.
Aku melotot. Kuedarkan pandang ke sekitarku. Ada sebuah foto retak tergantung di tembok. Tunggu, ada sesuatu di foto itu. Ada sesuatu yang menarik dari gambar biasa dua orang gadis yang sedang tertawa itu.
Ada sesuatu dari tawa gadis berlesung pipit itu yang membuatku muak. Tunggu, aku muak dengan gadis itu. Aku MUAK!!!!
Brakkk!!!
Sesuatu berwarna kemerahan mengalir dari kedua tanganku. Aku menatapnya nanar. Aku bingung.
“ Saudara Akal, saya rasa saya mengetahui bagaimana cara mengembalikan Tita…” dengusan keras terdengar dari berbagai penjuru.
“ Jangan asal bicara, nona. Kau sudah membuat Tita kehilanganku!! Lihat apa yang terjadi padanya sekarang!! Dia bahkan hanya menatap kosong darah di tangannya. Dia tak ubahnya seperti orang idiot yang tak tahu apa arti sakit. Semua itu gara-gara kau!!! “ raung suara angkuh itu di kepalaku.
Apa yang mereka bicarakan ?
“ Tita telah dikuasai oleh dirimu!! Dia bahkan tidak mempertimbangkan saran-saranku!!! Sakit di hatinya telah membuatnya kehilanganku!!! “
Suara lembut itu menangis semakin keras.
Aku diam. Lama. Entah berapa lama. Aku tidak tahu. Aku tidak peduli.
Aku hanya peduli dengan rasa sakit ini. Rasa sakit yang tak ada hubungannya dengan genangan merah di tanganku. Rasa sakit yang sudah beberapa hari ini begitu familiar denganku.
Hmm…aku mencoba berteman dengannya. Rasa sakit itu.
“ Kita harus memaksanya mengingat sebab rasa sakitnya, “ suara lembut angkat bicara. “ Saat itulah Saudara Akal harus menerobos masuk, bagaimanapun Tita membentengi dan menjagaku. Saat itulah kau harus mengalahkanku dan memaksa Tita menggunakanmu, menggunakan akal sehatnya. Hanya itu caranya.“
Kekosongan menyakitkan menyerangku. Aku kini diam, menyimak apa yang mereka bicarakan.
“ Bagaimana caranya ? Dia menolakku!! Bahkan sentuhan lembut logika-ku membuatnya kehilangan kendali. Dia bahkan sekarang mencoba berteman dengan sakit hatinya!!!”
“ Aku tahu. Maafkan aku. Aku yang membiarkan Tita mencintainya. Kita harus memaksanya mengingat detail memorinya. “
“ Kapan ? “
“ Sekarang, atau sebentar lagi dia jadi gila. “
00o00
Aku menatapnya, tersenyum. Lambaian tanganku seakan mewakili seluruh kata-kata yang ingim kuucapakan. Betapa aku menyayanginya dan menginginkan yang terbaik baginya.
Kuharap lambaikan tanganku dapat membuatnya mencetak 1 angka lagi. Angka yang memastikan kami membawa pulang piala bergilir walikota. Lagi. Dan untuk seterusnya.
Sentuhan hangat di lenganku membuatku berbalik. Gerak-gerik Amel, sahabat berlesung pipit-ku, membuatku tertawa. Dia menunjuk-nunjuk pangeranku, berusaha mengatakan bahwa kali ini, sekali lagi, kami membawa kebanggaan bagi sekolah kami.
00o00
Ok!! Stop!!! Berhenti !!! Aku tidak ingin mengalaminya lagi. Aku lelah. Aku cuma ingin tidur. Aku capek dengan semua ini.
“ Teruslah berusaha…” bisikan halus itu terdengar di kepalaku.
Tidak!!! Cukup !!! Sudah !!!
Kurasakan sulur-sulur pikiran merambat masuk memasuki wilayah yang kujaga dengan ketat. Dia mendobrak masuk, memasuki kamar kenangan keduaku.
00o00
Melihat mereka tertawa bahagia membuatku merasa begitu lengkap. Aku bersyukur. Aku tidak mengingnkan apa-apa lagi. Aku sudah memiliki semuanya. Sahabat dan orang yang kucintai yang begitu mencintaiku. Melihat mereka bercengkrama dan tertawa bahagia, sudah cukup membuat hatiku dipenuhi kegembiraan yang luar biasa.
00o00
Aku menangis.
Aku menggigil hebat. Rasanya seolah setiap energiku sudah habis terkuras. Di dalam kepalaku, aku merasakan sulur-sulur itu memeriksa bagian kamar kenanganku selanjutnya.
00o00
Aku tidak pernah memperhatikan kasak-kusuk di belakangku. Teman-temanku banyak berbincang-bincang tentangku, Amel, dan pangeranku. Spekulasi mereka membuatku ingin tertawa keras-keras. Bagaimana mungkin mereka melihat Amel menangis di bahu pangeranku ? Akal sehatku mengatakan pangeranku berusaha membantu Amel, saudariku.
00o00
Lelehan air mataku semakin deras. Aku terduduk lunglai di pojok kamar, satu-satunya tempat di mana aku merasa aman. Aku bahkan merasa tidak aman di dalam kepala dan benakku sendiri.
Sulur-sulur itu masih terus memeriksa.
Aku begitu putus asa. Aku membiarkannya memeriksa kenangan-kenanganku. Toh, melawan tidak ada gunanya. Aku sudah tidak berguna.
00o00
Dengan gemetar aku terus menulis di buku harianku. Tulisan itu begitu nyata, begitu jelas, sejelas bagaimana rasa sakit yang kurasakan. Ya, saat itulah aku pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Rasa Sakit. Selanjutnya, diriku adalah tempat yang nyaman untuknya.
00o00
Aku berteriak. Aku menjerit. Sulur-sulur itu menekanku, berusaha membuka pintu yang terakhir. Kenanganku yang terakhir. Kenangan yang sudah kututup rapat-rapat, takkan kubiarkan terbuka lagi.
Aku bergelut melawan mereka. Sedetik. Dua detik. Aku tak peduli. Aku tidak ingin mereka menang. Mereka akan membuatku mengalaminya lagi. Pertempuran terakhir yang harus kumenangkan setelah semua kekalahan yang kudapatkan.
Aku lelah. Aku capek. Aku sedih. Aku gembira. Aku GILA!!!
00o00
Kupandang buku harianku. Di situ jelas tertulis rangkaian kalimat yang begitu membuatku tak bisa merasakan keberadaan logika. Jelas, aku sedih.
“ Saat kulihat reaksimu saat mendengar namanya, ketika itu pula aku sadar bahwa kau adalah miliknya. Milik sahabatku sendiri. “
00o00
“ Merasa frustasi dan sedih begitu manusiawi. Merasa kehilangan harapan dan keinginan merupakan hal yang dialami setiap orang. Mereka semua mengalaminya. Tapi ada satu yang tidak dialami setiap orang. Tidak semua dari mereka merasakan betapa kuatnya mereka setelah mereka bangkit dari keterpurukan. Mereka belajar. Mereka mendapatkan pelajaran berharga yang hanya dapat mereka peroleh dari pengalaman hidup. “ suara monoton itu berkata pelan, bijaksana.
Tangis keras Perasaan hanya terdengar samar. Suara angkuh Akal memenuhi kepalaku.
“ Jangan biarkan Perasaan menjajahmu. Gunakan kami, akalmu, dengan baik. “
Entah mengapa suara tangis Perasaan di sudut yang jauh di kepalaku membuatku iba. Tangisnya begitu pilu dan sedih.
Mendengar tangis Perasaan, Akal tampaknya berpikir hal yang sama denganku. Dia menoleh dan berbalik. Digandengnya akal dengan hangat. Genggaman hangat persahabatannya membuatku sadar bahwa cinta buta bukanlah segalanya dalam hidupku. Anehnya, aku merasa tenang ketika kupunguti pecahan-pecahan pigura foto di depanku.
Tok,tok,tok.
Terdengar ketukan itu lagi. Aku tersenyum, mengira mereka telah menyelesaikan masalahnya. Masalah mereka adalah aku.
Tepukan halus di lenganku membuatku menoleh. Wajahku datar tanpa ekspresi ketika gadis berlesung pipit itu memelukku dan berbisik, “ Maafkan aku, Tita…”
Solo, 1 September 2009.21.43
Fandita Tonyka Maharani
XII IA 4/15